LATAR BELAKANG
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen ke-4 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan (i) peradilan umum, (ii) peradilan agama, (iii) peradilan militer, (iv) peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana dengan kedudukan atau posisi Pengadilan Pajak dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, mari kita mulai dengan pengaturan tentang Pengadilan Pajak berdasarkan UU Nomor 14 tahun 2002 sebagai berikut:
- Pasal 2 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
- Kedudukan atau posisi Pengadilan Pajak seperti yang diatur oleh Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Nomor 14 tahun 2002 menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.
- Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 tahun 2002 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
- Pasal 77 ayat (1) UU No.14 Tahun 2002 menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Pasal 77 ayat (3) UU No.14 Tahun 2002 menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung.
Terkait dengan pengaturan seperti tersebut di atas, ada dua pertanyaan pokok yang banyak diajukan oleh masyarakat wajib pajak sebagai berikut ini:
- Apakah Pengadilan Pajak telah mencerminkan badan peradilan yang sebenarnya yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencari keadilan atas sengketa pajak yang diajukan oleh wajib pajak?
- Apakah dengan kedudukan Pengadilan Pajak yang “dualisme” tersebut akan mempengaruhi tingkat independensi putusan hakim?
Sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman tentunya (baca: idealnya) putusan pengadilan pajak dapat diajukan banding kepada pengadilan lebih tinggi kedudukannya yang akhirnya bermuara kepada Mahkamah Agung. Dengan kata lain, wajib pajak yang ingin mencari keadilan disediakan sarana yang berjenjang dalam memutuskan perkaranya.
Sedangkan terkait dengan indepedensi hakim pengadilan pajak, apakah mutlak pengadilan pajak harus satu atap dengan lembaga yang diberi kekuasaan di bidang yudikatif? Untuk mencari jawaban tersebut, penulis mencoba melakukan studi perbandingan tentang penyelesaian sengketa pajak melalui badan peradilan di berbagai negara (selected countries).
1. AMERIKA SERIKAT[1]
Seluruh proses upaya hukum atas suatu sengketa perpajakan yang tidak dapat diselesaikan di tingkat lembaga eksekutif (administrative remedies) dapat diajukan kepada “Courts of Original Jurisdiction” atau dikenal dengan nama “Trial Courts”. Trial Court merupakan lembaga yudikatif tingkat pertama yang mengadili sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak. Trial Courts terdiri dari tiga pengadilan, yaitu:
- US Tax Court,
- US District Court,
- US Court of Federal Claims.
Wajib pajak dapat memilih salah satu (hanya satu) dari tiga pengadilan ini untuk menyidangkan kasus perpajakan yang disengketakan. Apabila atas hasil putusan pengadilan tersebut, wajib pajak atau otoritas pajak merasa tidak puas, maka sengketa tersebut dapat diteruskan kepada Court of Appeals atau US Court of Appeals for the Federal Circuit. Jika hasil putusan tersebut belum memuaskan, maka pihak-pihak yang bersengketa dapat meneruskannya ke Mahkamah Agung (Supreme Court). Tabel 1 berikut ini menjelaskan sistem penyelesaian sengketa pajak di lembaga yudikatif AS:
Tabel 1
Penyelesaian Sengketa Pajak di Lembaga Yudikatif AS
Sumber: James W. Pratt dan Willian N. Kulsrud, Federal Taxation, Dame Publication, 1998, hal. 2-27.
Pengadilan Tingkat Pertama (Trial Court)
1. US Tax Court
Adalah suatu pengadilan yang hanya menangani sengketa perpajakan, di mana para hakimnya dibekali dengan keahlian perpajakan yang sangat profesional. Hakim yang duduk dalam peradilan ini ditunjuk langsung oleh presiden, yang mana kandidat yang ditunjuk adalah para praktisi atau petugas IRS yang diakui karena kemampuannya. Adapun anggota hakim terdiri dari 19 hakim anggota, akan tetapi terhadap suatu kasus yang diajukan, hanya akan didengar oleh satu hakim yang kemudian menyampaikan pandangannya kepada hakim ketua untuk diputus. Berbeda dengan US District Court dan US Court of Federal Claims yang sama-sama bisa menyidangkan sengketa pajak, di US Tax Court ini tidak mengharuskan wajib pajak untuk membayar kekurangan pajak yang menjadi objek sengketa. Dalam US Tax Court tidak menyediakan juri dalam proses persidangan. US Tax Court ini jumlahnya hanya ada satu di seluruh Amerika Serikat. Akan tetapi, untuk melayani wajib pajak, para hakim yang ada di US Tax Court ini melakukan perjalanan ke seluruh negara bagian untuk mendengarkan kasus yang disengketakan.
Dalam US Tax Court terdapat Small Tax Division of the Tax Court yang menangani sengketa pajak yang jumlahnya dibawah USD 10.000. Apabila jumlah sengketanya dibawah USD 10.000, wajib pajak dapat memilih untuk mengajukan sengketanya kepada Small Tax Division of the Court. Keuntungan melalui jalur ini adalah, pemeriksaan terhadap sengketa akan mendapatkan prioritas utama, sehingga akan dilakukan sidang terlebih dahulu. Disamping biayanya murah, putusan yang diambil juga cepat dan tidak terlalu formalitas. Akan tetapi, hasil putusannya tidak dapat diajukan banding. Selain itu, putusannya tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi kasus serupa di masa yang akan datang.
2. US District Court
Untuk kepentingan sistem peradilan Federal, Negara Amerika Serikat dibagi ke dalam 11 daerah yang disebut ”circuits”. Circuit dibagi lagi menjadi “district”. Wajib pajak dapat membawa sengketa pajaknya ke US District Courts berdasarkan wilayah tinggalnya. Pengadilan ini adalah satu-satunya pengadilan yang menyediakan juri, di mana juri memiliki tugas terbatas pada penentuan bukti, bukan mengenai hukum. Namun dalam praktiknya, seringkali hakim mengambil keputusan tanpa mengindahkan keputusan juri.
3. US Court of Federal Claims
Adalah pengadilan yang menyidangkan kasus-kasus tertentu terhadap Pemerintah Federal, termasuk kasus restitusi. Pengadilan ini terdiri dari 16 hakim anggota dan tersebar diseluruh negeri, akan tetapi biasanya bertemu di Washington. Sengketa pajak yang disidangkan dalam US Court of Federal Claims, wajib pajak diwajibkan terlebih dahulu untuk membayar pajak yang terutang, baru setelah itu mengajukan klaim atas pajak yang seharusnya tidak terutang tersebut. Dalam pengadilan ini tidak terdapat juri. Atas putusan US Court of Federal Claim dapat diajukan banding kepada US Court of Appeals for the Federal Circuit.
Pengadilan Banding
US Courts of Appeals dan US Court of Appeal for the Federal Circuit
Putusan yang dikeluarkan oleh US Trial Courts (U.S. Tax Court, U.S. District Court, U.S. Court of Federal Claims) dapat diajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi yaitu U.S. Court of Appeals dan U.S. Court of Appeals for the Federal Circuit. Adapun U.S Court of Appeals adalah pengadilan banding atas keputusan yang berasal dari U.S Tax Court dan U.S District Court. Sedangkan untuk U.S. Court of Appeals for the Federal Circuit adalah pengadilan banding atas putusan yang berasal dari U.S. Court of Federal Claims. Terhadap putusan yang diterbitkan oleh US Court of Appeals dan US Court of Appeal for the Federal Claims dapat diajukan kasasi kepada US Supreme Court.
2. KANADA
Pengadilan Pajak memiliki 24 hakim dan 2 prosedur pengajuan banding atas suatu sengketa pajak. Adapun prosedur tersebut adalah (i) General Procedure (prosedur umum) dan (ii) Informal Procedure (prosedur informal).
- Jumlah keseluruhan sengketa pajak (tidak termasuk bunga) tidak lebih dari $ 12.000, atau
- Jumlah ketetapan sesuai dengan Subsection 152 (l.1) Pajak Penghasilan tidak lebih dari $ 24.000, atau
- Subjek sengketa pajak yang akan dilakukan banding hanyalah jumlah bunga yang dikenakan sesuai dengan ketentuan Pajak Penghasilan.
Pada prosedur informal, wajib pajak tidak dapat mengajukan banding kepada Federal Court of Appeal.[3]
Berbeda dengan prosedur informal, dalam prosedur umum, apabila wajib pajak tidak merasa puas dengan putusan Tax Court dapat mengajukan banding kepada Federal Court of Appeal. Terhadap putusan Federal Court of Appeal ini dapat dilakukan kasasi kepada Supreme Court. Pengajuan kasasi kepada Supreme Court dibatasi hanya terhadap sengketa penerapan peraturan perundang-undangan atau atas gabungan antara penerapan peraturan perundang-undangan dan fakta pembuktian.[4]
Tabel 2 berikut ini menggambarkan proses penyelesaian sengketa pajak di lembaga yudikatif Kanada
Tabel 2
Penyelesaian Sengketa Pajak di Lembaga Yudikatif Kanada
3. BELANDA
Di Belanda, apabila Mahkamah Agung Belanda memenangkan wajib pajak dan ketika otoritas pajak Belanda tidak setuju dengan putusan Mahkamah Agung maka akan mengajukan kasus yang sama kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi, apabila Mahkamah Agung tetap memenangkan wajib pajak maka otoritas pajak Belanda akan merubah ketentuan perpajakannya.[6]
Tabel 3 berikut ini mengilustrasikan proses penyelesaian sengketa pajak di lembaga yudikatif Belanda:
Tabel 3
Penyelesaian Sengketa Pajak di Lembaga Yudikatif di Belanda
Atas sengketa pajak yang telah diputus di tingkat otoritas pajak, wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Administrative Court (apabila di Seoul) atau kepada District Court (apabila berada diluar Seoul). Administrative Court dan District Court merupakan lembaga pengadilan tingkat pertama yang berada dalam ruang lingkup yudikatif.
Sebelum pengajuan banding atas sengketa pajak kepada pengadilan, di bawah ini dijelaskan terlebih dahulu proses keberatan dalam sistem perpajakan Korea Selatan:
Apabila wajib pajak tidak setuju dengan final assesment yang diterbitkan oleh kantor pajak (District Tax Office), maka wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada National Tax Service (NTS) atau kepada National Tax Tribunal (NTT). NTS dan NTT adalah lembaga independen yang merupakan bagian Ministry of Finance and Economy (MOFE).
Sebelum mengajukan banding kepada NTS atau NTT, wajib pajak juga mempunyai pilihan untuk mengajukan banding kepada Regional Tax Office. Alternatif lainnya adalah wajib pajak juga dapat mengajukan banding langsung kepada Board of Audit and Inspection. Akan tetapi, pengajuan keberatan melalui badan ini jarang digunakan karena fungsi utama dari badan ini adalah untuk mengaudit lembaga pemerintah.
Seperti telah disebutkan di muka, apabila wajib pajak tidak puas dengan keputusan keberatan, wajib pajak dapat meminta peninjauan kembali atas kasusnya dengan cara mengajukan banding kepada Administrative Court (apabila di Seoul) atau kepada District Court (apabila berada diluar Seoul). Administrative Court dan District Court merupakan lembaga pengadilan tingkat pertama yang berada dalam ruang lingkup yudikatif. Atas putusan Administrative Court dan District Court dapat diajukan kepada High Court. Terhadap putusan High Court dapat diajukan kasasi kepada Supreme Court. Apabila terkait dengan masalah konstitusi maka dapat diajukan kepada Constitutional Court.
Tabel 4 berikut ini, mengilustrasikan proses keberatan dan banding atas sengketa pajak di Korea Selatan.
Tabel 4
Penyelesaian Sengketa Pajak di Tingkat Keberatan dan Banding dalam Lembaga Yudikatif di Korea Selatan
Sumber: Sai Ree Yun, “South Korea: Tax Controversies”, dalam Asia Pacific Tax Bulletin, August/September 2003, hal. 259.
5. JEPANG
Terhadap putusan District Court dapat diajukan banding kepada salah satu dari delapan High Court. Adapun atas putusan dari High Court dapat diajukan kasasi kepada Supreme Court. Perlu diketahui bahwa, dalam lingkup pengadilan di bawah lembaga yudikatif, para hakim yang memutuskan sengketa pajak sebagian besar tidak paham dengan ketentuan perpajakan.[9]
Di Jepang, apabila pengadilan banding memenangkan wajib pajak maka otoritas pajak akan menyesuaikan peraturan perundang-undangan perpajakannya untuk disesuaikan dengan putusan banding.[10] Hal ini dilakukan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi wajib pajak. Dengan demikian, terhadap kasus-kasus yang sama yang terjadi dikemudian hari tidak perlu lagi dibawa ke tingkat pengadilan. Tentunya ini akan mengurangi cost of compliance wajib pajak karena tidak perlu mengeluarkan biaya, waktu dan energi untuk membawa sengketa pajak ke tingkat pengadilan. Dengan pendekatan yang dilakukan di Jepang tersebut, jumlah kasus sengketa pajak yang dibawa di tingkat pengadilan sangat sedikit dan sebagian besar dimenangkan oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa pajak di tingkat administrasi (eksekutif) cukup memuaskan wajib pajak.
Berikut ini dalam Tabel 5 disajikan statistik atas sengketa pajak yang diajukan kepada tiga tingkatan pengadilan tersebut.[11]
Tabel 5
Statistik Sengketa Pajak di Tingkat Pengadilan di Jepang
Tahun pajak | Jumlah kasus dari tahun sebelumnya | Jumlah kasus baru | Jumlah kasus yang diselesaikan (a) | Kasus yang dimenangkan oleh wajib pajak/(a) (%) | Jumlah kasus yang dibawa ke tahun berikutnya |
1990 | 649 | 310 | 328 | 6,4 | 631 |
2000 | 494 | 388 | 397 | 8,1 | 485 |
2001 | 485 | 400 | 404 | 8,2 | 481 |
2002 | 481 | 380 | 346 | 13,6 | 515 |
2003 | 515 | 380 | 473 | 11,2 | 534 |
2004 | 534 | 552 | 478 | 11,7 | 608 |
2005 | 608 | 394 | 559 | 9,3 | 443 |
Sumber: NTA Annual Statistic Report, Kiyoshi Nakayama, “Resolution of Tax Dispute in Japan”, dalam BIFD, September/Oktober 2007, IBFD, hal. 461.
6. MALAYSIA
Apabila wajib pajak belum puas atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh otoritas pajak Malaysia, maka wajib pajak tersebut dapat mengajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Tinggi (High Court).[13] Adapun kedudukan Pengadilan Tinggi tersebut adalah berada dalam lingkungan peradilan umum. Lebih lanjut, jika wajib pajak tersebut masih tidak puas atas putusan banding atau gugatan yang dikeluarkan oleh High Court, maka wajib pajak dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (Supreme Court).
KESIMPULAN
Dari berbagai sistem penyelesaian sengketa pajak melalui badan peradilan di berbagai negara tersebut di atas tampak bahwa (i) badan peradilan yang menyidangkan sengketa pajak tersebut berada dalam ruang lingkup lembaga yudikatif, (ii) badan peradilan yang yang menyidangkan sengketa pajak terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, (iii) atas putusan pengadilan di tingkat pertama dan tingkat kedua tersebut masih dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Supreme Court).
Di sini nampak bahwa upaya wajib pajak untuk mencari keadilan atas sengketa pajaknya kepada badan peradilan di bawah lembaga yudikatif diberikan secara bertingkat yaitu pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat kedua (kecuali Belanda dan Malaysia) dan setelah itu masih diberikan kesempatan untuk kasasi ke Mahkamah Agung.
Permasalahan yang muncul ketika sengketa pajak dilakukan di badan peradilan (biasanya pengadilan tingkat kedua) yang bernaung di bawah lembaga yudikatif adalah masalah tingkat kompetensi pengetahuan perpajakan dari para hakimnya.
Meskipun pada Pengadilan Pajak tidak dikenal adanya upaya kasasi, menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak berpuncak pada Mahkamah Agung, dan termasuk dalam lingkup peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Hal ini disebabkan karena pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Disamping itu, adanya ketentuan Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.
Menurut penulis, terkait dengan tingkat independensi hakim dalam memutus perkara, faktor utamanya bukan pada di mana badan peradilan pajak tersebut bernaung, tetapi didasarkan sejauh mana putusan hakim tersebut bisa diakses dan diperdebatkan oleh publik, sehingga dapat dipetakan sebagai “common sense” yang bisa dijadikan acuan atas sengketa pajak yang sama.
[1] Disarikan dari tulisan James W. Pratt dan William N. Kulsrud, Federal Taxation, Dame Publication, 1998, hal. 2-26 – 2-28.
[2] http://www.tcc-cci.gc.ca
[3] http://www.canlii.org/en/ca/tcc/
[4] Brian J. Arnold, “General Description Canada”, dalam Comparative Income Taxation: A Structural Analysis (Second Edition), editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold, Kluwer Law international, 2004, hal. 29-30.
[5] Kees van Raad, “General Description The Netherlands”, dalam Comparative Income Taxation: A Structural Analysis (Second Edition), editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold, Kluwer Law International, 2004, hal. 96.
[6] Kees van Raad, “General Description The Netherlands,” dalam Comparative Income Taxation, Kluwer Law International, 2004, hal. 95.
[7] Disarikan dari tulisan Sai Ree Yun, “Tax Controversies”, dalam Asia Pacific Tax Bulletin, IBFD, 2003, hal. 262-262.
[8] Minoru Nakazato, Mark Ramseyer, dan Yasutaka Nishikori, “General Description Japan”, dalam Comparative Income Taxation, editor: Hught J. Ault dan Brian J. Arnold, Kluwer Law International, 2004, hal. 80-82.
[9] Kiyoshi Nakayama, “Resolution of Tax Disputes in Japan”, dalam Bulletin for International Taxation, September/November, IBFD, 2007, hal. 461.
[10] Minoru Nakazato, Mark Ramseyer, dan Yasutaka, “General Description Japan,” dalam Comparative Income Taxation, Kluwer Law International, 2004, hal. 83.
[11] Kiyoshi Nakayama, “Resolution of Tax Disputes in Japan”, dalam Bulletin for International Taxation, September/November, IBFD, 2007, hal. 461.
[12] Jeyapalan Kasipillai, A Practical Guide to Malaysian Taxation Current Year Assessment, McGraw-Hill, 2000, hal. 146-147.
[13] “Peranan Peradilan Pajak Dalam Menegakkan Supremasi Hukum di Indonesia”, dalam Jurnal Kipas, Volume 2 No. 014, November 1999, hal. 24.